Penulis Budi Susilo
Aliansi Jurnalis Independen Manado
MANADO diambang kemajuan. Pembangunan infrastruktur digalakan. Pendirian jembatan Soekarno di pesisir teluk Manado sampai pelebaran jalan di Kairagi hingga Tikala jadi saksi biksu keberadaan proses perubahan, demi memicu pertumbuhan ekonomi kota yang tinggi.
Gairahnya pembangunan Manado memicu arus investasi dan urbanisasi semakin tak tertahankan. Bagai pepatah ada gula ada semut, Manado berkembang banyak pendatang yang akan datang mencari tantangan meraih bekal kehidupan.
Namun apa daya, sudah menjadi hal lumrah bila sebuah kota progres akan berbanding lurus dengan aksi kriminalitas, meski tidak dapat dipungkiri pihak kepolisian dalam hal ini pun harus turut mengimbangi profesionalitasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat perkotaan.
Gejala peningkatan kriminalitas akibat perkembangan Manado contoh spesifiknya bisa dilihat dari data indeks Kriminal Polresta Manado bahwa Mei 2011 terjadi 11 kasus pencurian sepeda motor, meningkat bila dibandingkan Juni 2011 yang mencapai 16 Kasus. Bila ditotal Januari sampai Juni 2011, telah mencapai angka 122 kasus pencurian sepeda motor, 26 diantaranya kasus perampasan melalui cara kekerasan.
Ini artinya apa, kemajuan kota pun memicu tindakan kriminal. Sebab itulah dibutuhkan peran dari media masa untuk melakukan kontrol dan fasilitator warga dalam meminimalisir dampak negatif dari fenomena metropolitan.
Media masa di Manado jangan hanya sekedar mengabarkan apa yang terjadi dilapangan, namun harus mampu sekaligus mendorong perbaikan kinerja aparat penegak hukum. Jangan sampai daya kritis media terhadap aparat penegak hukum mengendur. Pers sebagai sumber nurani rakyat diidamkan sebagai sarana pencerahan bagi profesionalisme penegak hukum.
Mengutip buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul The Elements of Journalism, seorang jurnalis sebagai pekerja di media masa harus memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani warga. Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal atau sebuah panduan moral dan menyuarakan sekuat-kuatnya nurani.
Apa jadinya bila media masa absen memberi masukan dan menyuarakan nurani warga ke lembaga kepolisian. Mungkin nanti Quick Response Time yang dahulu diluncurkan Kapolda Sulut Brigjen Pol Drs Bekto Suprapto MSi tinggalah kenangan.
Padahal sebelumnya, dengan bangganya sistem Quick Response Time mendapat pengakuan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), sebagai model yang mampu membuat pelayanan polisi terukur dan tercepat di Indonesia. Kurang dari 10 menit setelah masyarakat melapor, polisi sudah di tempat kejadian perkara (TKP).
Kenyataan riwayat model Quick Response Time tak tampak lagi dipermukaan. Pengalaman ini pernah terjadi pada seorang korban permapasan motor yang berprofesi sebagai wartawan saat hendak pulang dari tugas peliputan, dijegat ditengah jalan, mengalami kekerasan dan motor pun dirampas. Pastinya bertanya kemana Quick Response Time yang selama ini dibanggakan. Apakah telah mandul.
Sebaliknya ada pertanyaan apakah ini penyebab media masa yang selama ini tidur mengkritik kinerja kepolisian atau malah pers sudah terlena dengan nikmatnya orientasi industri media massa.
Memang pers itu oleh Jakob Oetama dalam karyanya Dunia Usaha dan Etika Bisnis (2001), pers harus memposisikan diri secara strategis dalam eksistensi dan interdependensinya dengan negara, masyarakat dan bisnis. Manajemen pers menyadari posisinya sebagai pelayan publik dan pelayan dari para pelayan dalam konteks pengabdian dan loyalitasnya kepada negara dan masyarakat.
Realitas dunia pers kini bebas dari hambatan penguasa tetapi pers belum benar-benar secara bebas dapat membela kepentingan publik. Terkadang dalam mewujudkan idealismenya sering terhambat oleh tuntutan hidup, masih ada berhadapan dengan kepentingan industri yang ditujukan untuk mencari keuntungan semata.
Pers mengkritik, menekan dan mendukung perbaikan kinerja aparat hukum jadi tujuan utama, sesuai keinginan nurani warga adalah perwujudan dalam kehidupan berdemokrasi. Walau ada kesan pers mengkritik lembaga kepolisian itu ibarat menciptakan sebuah konflik, namun inilah yang harus wajib dilakukan.
Menyadur pendapat Lewis A. Coser, dalam karyanya The Fungtions of Sosial Conflict (1956), konflik itu peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur-struktur dan hubungan
sosial. Tidak adanya konflik dalam sebuah masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan sosial masyarakatnya serta proses sosial yang mempunyai segi postif bagi masyarakatnya. ()
Jumat, 17 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar